NGANJUK, JAVATIMES -- Dugaan kejanggalan dalam proyek normalisasi Sungai Desa Gampeng–Lengkong Lor, Kecamatan Ngluyu, Kabupaten Nganjuk, semakin mencuat ke permukaan.
Proyek yang dibiayai APBD Tahun 2025 dengan nilai kontrak lebih dari Rp188 juta itu dikerjakan oleh CV Maju Karya Indonesia, dengan konsultan pengawas CV Pangestu Gemilang, namun kondisi di lapangan justru menunjukkan potret buram buruknya pengawasan dan lemahnya etika pelaksanaan proyek pemerintah.
Saat tim awak media mendatangi lokasi pekerjaan, tak satu pun penanggung jawab lapangan maupun konsultan pengawas berada di lokasi. Yang ada hanya seorang pekerja pengrapian, pria berinisial H (40) asal Kecamatan Nganjuk, yang bekerja tanpa pengawasan dan tanpa perlindungan keselamatan kerja.
Menariknya, atau lebih tepatnya mencengangkan, H bahkan tidak mengetahui nama perusahaan tempat ia bekerja, apalagi siapa pemiliknya.
“Saya tidak tahu pemilik perusahaannya, tidak tahu juga nama perusahaannya. Saya kerja disuruh teman orang Ngluyu, inisialnya T,” ungkap H kepada awak media.
APD Tidak Ada, BPJS Tidak Difasilitasi
Lebih ironis, H mengaku tidak dibekali APD apa pun, dan tidak didaftarkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana kewajiban kontraktor dalam proyek pemerintah.
“Saya cuma merapikan saja,” ujarnya sambil memperlihatkan tangan kosong tanpa sarung tangan, helm, atau rompi keselamatan.
Menurut H, dirinya hanya tenaga lepas yang diambil oleh seseorang berinisial T asal Kecamatan Ngluyu. Sementara upah yang diterima hanya Rp90.000 per hari, bekerja mulai pukul 07.00 sampai 16.00 WIB.
“Saya tidak ikut ke perusahaan penggarap. Upah saya Rp90.000. Saya tidak dapat BPJS ketenagakerjaan,” tambahnya.
Padahal sesuai aturan, setiap pekerja proyek fisik yang didanai negara wajib dilengkapi perlindungan keselamatan kerja, termasuk APD standar dan fasilitas jaminan sosial ketenagakerjaan. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa proyek tersebut hanya mengejar fisik di atas kertas, tanpa memikirkan keselamatan para pekerja.
Kualitas Pekerjaan Diduga Bermasalah
Tidak berhenti di situ, pekerja tersebut juga menunjukkan adanya bagian pekerjaan yang kondisinya telah retak dan rusak, padahal proyek belum lama dikerjakan.
“Itu rusak mungkin kegerus air waktu pengerjaan. Sempat banjir. Saya baru seminggu bagian pengrapian,” ungkapnya.
Pernyataan ini mengindikasikan adanya dugaan pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis, serta lemahnya pengendalian mutu (quality control) di lapangan. Proyek normalisasi sungai yang menelan ratusan juta rupiah seharusnya tahan terhadap dinamika aliran air, bukan justru rusak sebelum diserahterimakan.
Dinas PUPR Bungkam
Di sisi lain, upaya konfirmasi kepada Plt Kepala Dinas PUPR Kabupaten Nganjuk yang juga merangkap sebagai Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Nganjuk, Onny Supriyono, tidak membuahkan hasil. Dihubungi melalui WhatsApp, nomor Onny hanya berdering tanpa jawaban. Pesan WhatsApp yang dikirim awak media pun tidak direspons sama sekali.
Bungkamnya pihak dinas memperkuat dugaan minimnya pengawasan pemerintah daerah terhadap proyek yang menggunakan uang rakyat tersebut.
Proyek Negara, Tapi Tak Ada Negara di Lapangan
Proyek APBD senilai ratusan juta rupiah semestinya memberikan manfaat, kualitas, dan keselamatan kerja. Namun temuan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Kejanggalan-kejanggalan ini jelas tidak bisa dianggap sepele. Publik berhak menuntut transparansi, pertanggungjawaban, serta tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang diduga lalai maupun tidak patuh terhadap regulasi.
Sampai berita ini diterbitkan, pelaksana proyek, konsultan pengawas, dan Dinas PUPR Nganjuk belum memberikan klarifikasi resmi.
(AWA)

Komentar