![]() |
| Ketua MIO Nganjuk, Prayogo Laksono |
NGANJUK, JAVATIMES — Praktik pemerasan yang dilakukan oknum dengan mengatasnamakan profesi wartawan kerap mencuat ke permukaan. Modus ini dinilai bukan sekadar mencoreng dunia pers, tetapi telah menjelma menjadi kejahatan yang merusak sendi kepercayaan publik dan mencederai demokrasi.
Ketua Media Independen Online (MIO) Kabupaten Nganjuk, Prayogo Laksono, secara terbuka mendesak aparat penegak hukum (APH) agar tidak ragu menindak tegas setiap laporan masyarakat terkait oknum yang mengaku wartawan namun diduga melakukan pemerasan, intimidasi, hingga ancaman.
Prayogo menegaskan, tindakan tersebut sama sekali tidak dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebaliknya, kata dia, praktik meminta uang, mengancam pemberitaan, atau menekan narasumber justru masuk dalam ranah pidana.
“Wartawan bekerja berdasarkan kode etik jurnalistik, bukan menakut-nakuti apalagi memeras. Jika ada oknum yang mengaku wartawan lalu meminta uang atau mengancam, itu pidana,” tegas Prayogo, Jumat (19/12/2025).
Secara hukum, tindakan pemerasan dapat dijerat Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemerasan dengan ancaman pidana penjara. Sementara ancaman atau intimidasi juga dapat dikenakan pasal berlapis, tergantung pada modus dan alat bukti yang digunakan.
Lebih jauh, Prayogo mengingatkan bahwa UU Pers tidak pernah memberi kekebalan hukum bagi wartawan yang melakukan kejahatan. Pasal 18 UU Pers justru mengatur sanksi bagi pihak yang menyalahgunakan kebebasan pers, sementara Kode Etik Jurnalistik secara tegas melarang wartawan memanfaatkan profesi untuk kepentingan pribadi.
“Jangan salah kaprah. Kebebasan pers bukan kebebasan memeras. Profesi wartawan tidak kebal hukum,” ujarnya.
Ia mengimbau masyarakat agar tidak takut melapor ke kepolisian jika menjadi korban pemerasan oleh oknum yang mengaku wartawan. Bukti percakapan, rekaman suara, tangkapan layar pesan, hingga saksi, menurutnya, sudah cukup menjadi pintu masuk bagi aparat untuk bertindak.
“Korban jangan diam. Laporkan ke APH, sertakan bukti chat, rekaman, atau saksi. Negara hadir untuk melindungi warga, bukan melindungi pelaku yang bersembunyi di balik profesi,” lanjutnya.
Prayogo menilai, keberanian masyarakat melapor merupakan langkah penting untuk memutus mata rantai praktik kotor berkedok jurnalistik. Tanpa penindakan tegas, stigma buruk akan terus melekat pada profesi wartawan yang sejatinya bekerja secara profesional dan berintegritas.
Ia juga menyoroti lemahnya efek jera jika aparat penegak hukum lamban atau ragu menindak laporan semacam ini. Menurutnya, pembiaran sama artinya memberi ruang aman bagi pelaku untuk terus beraksi.
“MIO Nganjuk mendukung penuh penegakan hukum yang adil dan tanpa kompromi. Jangan sampai profesi wartawan dijadikan tameng untuk melakukan kejahatan,” pungkasnya.
Prayogo berharap, ketegasan hukum dan keberanian publik melapor dapat membersihkan dunia pers dari oknum-oknum nakal, sekaligus menegaskan bahwa jurnalisme sejati berdiri di atas etika, integritas, dan tanggung jawab, bukan ancaman dan pemerasan.
(AWA)

Komentar