Surat ke Cabdin Ada, Isi Tak Diketahui: Transparansi SMKN 1 Kertosono Dipertanyakan -->

Javatimes

Surat ke Cabdin Ada, Isi Tak Diketahui: Transparansi SMKN 1 Kertosono Dipertanyakan

javatimesonline
17 Desember 2025

SMKN 1 Kertosono (Foto: website SMKN 1 Kertosono)

NGANJUK, JAVATIMES — Di tengah derasnya keluhan orang tua siswa terkait dugaan praktik “sumbangan berbayar” yang dikaitkan dengan pembagian nomor ujian, pihak SMKN 1 Kertosono akhirnya angkat bicara. Namun klarifikasi yang disampaikan justru memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.


Wakil Kepala SMKN 1 Kertosono Bidang Humas, Fakhri Ahmad Safar, menyatakan bahwa Kepala Sekolah SMKN 1 Kertosono, Moch. Sigit Nuryakin, telah memberikan penjelasan secara kedinasan kepada Cabang Dinas Pendidikan (Cabdin) Wilayah Kabupaten Nganjuk.

“Jadi untuk pertanyaan jenengan, Pak Kepala sebenarnya sudah menjawab secara resmi, secara kedinasan ke Cabdin (Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Nganjuk) dengan berkirim surat ke Cabdin, kemarin seperti itu,” ujar Fakhri saat ditemui Javatimes beberapa waktu lalu.


Namun ketika ditanya lebih lanjut mengenai respons atau tindak lanjut dari Cabdin atas surat tersebut, Fakhri mengaku belum mengetahui perkembangan terbaru.

“Sampai hari ini belum dapat update terbaru terkait itu. Karena sampai hari ini belum kepanggih (ketemu). Mungkin nanti kalau ketemu, saya konfirmasi lagi,” bebernya.


Ironisnya, Fakhri juga mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui secara detail isi surat klarifikasi yang dikirimkan kepala sekolah ke Cabdin.

“Saya tegaskan, itu yang membuat Pak Sigit (Kepala SMKN 1 Kertosono). Isinya saya tidak baca, jadi kan tidak lewat saya. Saya hanya kemarin konfirmasi, sudah saya jawab secara kedinasan Pak Fahri,” ucap Fakhri menirukan pernyataan kepala sekolah.


Pernyataan ini memunculkan tanda tanya besar soal koordinasi internal sekolah, mengingat isu yang mencuat menyangkut hak dasar siswa untuk mengikuti ujian.


Terkait munculnya besaran nominal yang disebut sebagai “sumbangan”, Fakhri menegaskan bahwa hal tersebut merupakan hasil kesepakatan komite sekolah.

“Itu sudah melalui kesepakatan yang dilakukan oleh komite. Terkait ada nominal yang ditentukan, sebenarnya ada beberapa variatif, tidak semua sama (besarannya), itu yang perlu digarisbawahi,” jelasnya.


Namun penegasan tersebut berbenturan dengan kritik orang tua siswa yang mempertanyakan makna “sumbangan” itu sendiri. Pasalnya, dalam praktik di lapangan, nominal yang disebut sumbangan justru dikaitkan dengan akses siswa terhadap nomor ujian.


Saat ditanya apakah wajar wali kelas—yang juga berstatus tenaga pendidik—ikut menyampaikan informasi terkait pembayaran menjelang ujian, Fakhri justru melempar pertanyaan balik.

“Yang namanya mengingatkan apakah salah to, Mas?” bebernya.


Ketika ditegaskan kembali apakah tindakan tersebut patut dan pantas dilakukan oleh tenaga pendidik, Fakhri menyatakan bahwa sekolah sebenarnya telah memiliki mekanisme tersendiri.

“Kemudian yang jelas di sini untuk masalah pemberitahuan seperti itu sudah ada timnya sendiri,” urainya.


Namun dalam penjelasan berikutnya, Fakhri kembali menegaskan bahwa terdapat tim khusus dari komite sekolah yang bertugas menyampaikan informasi soal sumbangan.

“Ada timnya sendiri. Dari komite, ada (timnya) sendiri,” katanya.


“Jadi yang jelas di sekolah tidak ada kewajiban kepada tenaga selain tim administrasi untuk menyampaikan hal tersebut,” lanjut Fakhri.


Pernyataan tersebut justru menegaskan adanya kontradiksi antara prosedur yang diklaim sekolah dengan praktik di lapangan, di mana wali kelas disebut-sebut ikut menyampaikan bahkan mengarahkan siswa untuk “mencicil” pembayaran ke Tata Usaha.


Saat ditanya apakah sumbangan perlu diingatkan secara aktif, Fakhri membandingkannya dengan praktik di rumah ibadah.

“Ya perlu diingatkan, kalau di masjid lho, monggo sodakoh sumbangannya. Diingatkan seperti itu,” dalihnya.


Analogi ini kembali menuai kritik, mengingat konteks pendidikan negeri yang dibiayai negara tidak dapat disamakan dengan praktik sukarela di tempat ibadah, terlebih ketika dikaitkan dengan hak siswa mengikuti ujian.


Menanggapi penggunaan istilah “mencicil” yang disampaikan oleh wali kelas, serta fakta bahwa praktik tersebut tidak dilakukan langsung oleh komite, Fakhri menyebut hal itu berada di luar kendali manajemen sekolah.

“Sebenarnya, secara administratif, secara aturan kita, kita sudah punya tim sendiri terkait administratif. Kalau kemudian ada bapak ibu guru yang kemudian menyampaikan, itu mungkin di luar kendali kita dan mungkin karena opennya (perhatiannya) wali kelas,” tandasnya.


Pernyataan tersebut mempertegas adanya jarak antara kebijakan resmi sekolah dan implementasi di lapangan. Di sisi lain, keluhan orang tua siswa terus bergulir, sementara kejelasan soal status “sumbangan” dan kaitannya dengan nomor ujian masih menjadi tanda tanya besar.


Hingga berita lanjutan ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi tertulis dari pihak Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Nganjuk terkait polemik yang mencuat di SMKN 1 Kertosono.



(Tim)