![]() |
| MKKS SMP Negeri Kabupaten Nganjuk beri pesan orang tua dan siswa di masa liburan sekolah |
NGANJUK, JAVATIMES — Setiap kali bel libur sekolah berbunyi, jutaan siswa di Indonesia serentak menarik napas lega. Buku ditutup, seragam dilipat, dan rutinitas akademik seolah ikut disimpan. Namun di balik jeda yang dinanti itu, muncul satu pertanyaan krusial: apakah liburan benar-benar harus berarti berhenti belajar?
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Negeri Kabupaten Nganjuk, Ani Sutiani, S.Pd., M.Si., menilai pemahaman semacam itu perlu diluruskan. Di tengah masa liburan sekolah, ia menyampaikan pesan tegas kepada orang tua dan siswa agar libur tidak dimaknai sebagai kekosongan intelektual.
“Liburan itu hak anak, tapi berhenti belajar bukan pilihan. Yang berubah hanya metodenya, bukan semangatnya,” ujar Ani-sapaan akrabnya, Selasa (23/12/2025).
Pernyataan ini bukan sekadar imbauan moral. Ia sejalan dengan semangat kebijakan pendidikan nasional, khususnya arah Merdeka Belajar yang menekankan pembelajaran sepanjang hayat, kontekstual, dan berpusat pada peserta didik—bukan semata terikat ruang kelas.
Menurut Kepala SMPN 2 Nganjuk ini, liburan justru merupakan ruang emas untuk menghadirkan pembelajaran yang sering terpinggirkan oleh padatnya jadwal sekolah: belajar dari kehidupan nyata.
“Membaca buku nonpelajaran, menulis cerita, berdiskusi ringan, membantu orang tua, atau mengembangkan bakat seni dan olahraga—itu semua bagian dari belajar,” katanya.
Namun ia mengingatkan, tanpa pendampingan orang tua, liburan berisiko berubah menjadi fase learning loss. Fenomena ini telah lama menjadi perhatian dunia pendidikan: kemampuan akademik menurun akibat jeda panjang tanpa stimulasi intelektual.
“Di sekolah, kami sering melihat anak-anak butuh waktu lama untuk kembali fokus setelah liburan. Ini bukan soal malas, tapi karena ritme belajarnya benar-benar terputus,” jelas Ani.
Dalam konteks inilah, ia menekankan peran sentral keluarga. Ketika sekolah formal berhenti sementara, orang tua otomatis menjadi aktor utama pendidikan anak.
“Saat liburan, orang tua adalah guru utama. Jangan sepenuhnya menyerahkan anak pada gawai dan hiburan,” tegasnya.
Ani tidak menutup mata terhadap realitas zaman. Gawai, media sosial, dan konten digital menjadi tantangan serius bagi konsentrasi dan karakter anak. Namun ia menolak pendekatan represif.
“Bukan melarang secara kaku, tapi mendampingi dan mengarahkan. Anak perlu batas, tapi juga perlu dialog,” ujar mantan Kepala SMPN 2 Pace.
Lebih jauh, Ani melihat liburan sebagai momentum strategis untuk memperkuat pendidikan karakter, agenda besar yang terus digaungkan pemerintah namun kerap sulit diterjemahkan di ruang kelas.
“Nilai kejujuran, disiplin, empati, tanggung jawab—itu paling efektif diajarkan di rumah, lewat keteladanan orang tua,” katanya.
Ia berharap, ketika siswa kembali ke sekolah, mereka tidak hanya membawa tubuh yang segar, tetapi juga mental yang siap, kebiasaan belajar yang terjaga, dan karakter yang semakin matang.
“Kami ingin anak-anak kembali dengan semangat utuh, bukan harus mulai dari nol lagi,” tambahnya.
Pesan Ketua MKKS SMP Negeri Nganjuk ini sekaligus menjadi refleksi bagi publik: pendidikan tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada sekolah. Ia adalah kerja kolektif antara negara, sekolah, keluarga, dan lingkungan.
Liburan, pada akhirnya, bukan garis akhir dari proses belajar. Ia hanyalah jeda agar anak-anak kembali melangkah dengan pikiran yang lebih jernih, karakter yang lebih kuat, dan arah yang lebih jelas menuju masa depan.
(AWA)

Komentar