Keluhan Wali Murid SMKN 1 Kertosono Menggema, Praktisi Hukum Soroti Dugaan Pelanggaran Regulasi dan Bungkamnya Cabdin -->

Javatimes

Keluhan Wali Murid SMKN 1 Kertosono Menggema, Praktisi Hukum Soroti Dugaan Pelanggaran Regulasi dan Bungkamnya Cabdin

javatimesonline
20 Desember 2025

 

Praktisi hukum dan pemerhati pendidikan, Prayogo Laksono, S.H., M.H.

NGANJUK, JAVATIMES — Mencuatnya keluhan wali murid terkait dugaan praktik “sumbangan” di SMKN 1 Kertosono, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, terus menuai sorotan. Minimnya transparansi pihak sekolah, ditambah sikap diam Cabang Dinas Pendidikan (Cabdin) Wilayah Kabupaten Nganjuk, memantik reaksi keras dari praktisi hukum dan pemerhati pendidikan, Prayogo Laksono, S.H., M.H.


Menurut Prayogo, persoalan yang terjadi di SMKN 1 Kertosono tidak bisa dipandang sebagai isu administratif semata, melainkan berpotensi melanggar regulasi pendidikan nasional jika benar terdapat keterlibatan tenaga pendidik serta indikasi penentuan nominal sumbangan yang dikaitkan dengan hak akademik siswa.

“Jika sumbangan disampaikan oleh wali kelas atau guru, apalagi dikaitkan dengan pembagian nomor ujian, itu bukan lagi wilayah abu-abu. Itu sudah masuk dugaan pelanggaran regulasi pendidikan,” tegas Prayogo kepada wartawan, Sabtu (20/12/2025).


Prayogo mengingatkan bahwa Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah secara jelas mengatur bahwa komite sekolah hanya boleh melakukan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bukan pungutan. Sumbangan bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak ditentukan nominal maupun tenggat waktunya.


Lebih jauh, regulasi tersebut juga menegaskan bahwa guru dan tenaga kependidikan dilarang terlibat dalam penggalangan dana. Peran guru semata-mata fokus pada kegiatan belajar mengajar, bukan menjadi perpanjangan tangan kebijakan finansial sekolah.

“Permendikbud 75/2016 itu terang benderang. Tidak boleh ada penetapan jumlah, tidak boleh ada tekanan, dan tidak boleh dikaitkan dengan layanan pendidikan. Jika dikaitkan dengan nomor ujian, itu berpotensi menjadi pungutan terselubung,” kata Prayogo.


Tak hanya itu, Prayogo juga menyinggung Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang melarang satuan pendidikan negeri melakukan pungutan yang bersifat wajib kepada peserta didik atau orang tua, terutama jika berdampak pada terhambatnya hak siswa dalam mengikuti proses pendidikan.

“Sekolah negeri dibiayai oleh negara. Maka setiap kebijakan pembiayaan tambahan harus sangat hati-hati. Ketika siswa seolah ‘dipaksa’ memenuhi kewajiban tertentu agar bisa ikut ujian, itu jelas mencederai asas keadilan dan non-diskriminasi dalam pendidikan,” ujarnya.


Prayogo menilai, sikap minim transparansi dari pihak SMKN 1 Kertosono justru memperkuat kecurigaan publik. Alih-alih membuka data dan menjelaskan mekanisme sumbangan secara terbuka, pihak sekolah dinilai memilih diam di tengah derasnya keluhan wali murid.


Lebih disayangkan lagi, Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kabupaten Nganjuk yang seharusnya menjadi garda pengawasan, justru terkesan pasif. Padahal sebelumnya, Plt Kepala Cabdin telah secara tegas menyatakan bahwa guru dilarang terlibat dalam penyampaian informasi maupun penarikan sumbangan.

“Ketika muncul dugaan pelanggaran, Cabdin seharusnya hadir, bukan menghilang. Diamnya otoritas justru bisa ditafsirkan sebagai pembiaran,” kritik Prayogo.


Ia menegaskan bahwa dalam negara hukum, pengawasan pendidikan tidak boleh bergantung pada viral atau tidaknya sebuah kasus. Setiap keluhan masyarakat wajib ditindaklanjuti secara objektif, transparan, dan akuntabel.

“Kalau ini dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk. Sekolah lain bisa meniru, wali murid semakin tertekan, dan pendidikan negeri kehilangan marwahnya sebagai ruang yang adil dan bebas dari tekanan ekonomi,” pungkasnya.


Kasus SMKN 1 Kertosono kini tak lagi sekadar isu lokal, melainkan cermin rapuhnya pengawasan pendidikan jika regulasi hanya berhenti di atas kertas. Publik pun menanti: apakah aturan akan ditegakkan, atau kembali dikalahkan oleh kebiasaan lama yang dibungkus istilah ‘sumbangan’.



(AWA)