![]() |
Kantor Kelurahan Jatirejo, Kecamatan/Kabupaten Nganjuk |
NGANJUK, JAVATIMES – Skandal sewa tanah kas daerah di Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Nganjuk, terus menyeret banyak pihak. Setelah publik digegerkan dengan ulah eks Lurah Jatirejo, Sunaryo, yang menyewakan lahan eks bengkok selama dua tahun sekaligus dan mengantongi uang sewa tahun 2026 senilai Rp154 juta, kini sorotan beralih ke Camat Nganjuk, Hari Moektiono, yang dinilai abai dan cenderung “cuci tangan”.
Ketua LPM Jatirejo, Mariyoso, blak-blakan mengungkap bahwa dirinya sudah lama mengingatkan Sunaryo soal pelanggaran ini, bahkan sampai melaporkannya ke Camat.
“Saya konsultasi langsung ke Pak Camat. Jadi saya yakin beliau sudah tahu persoalan ini sejak awal,” tegas Mariyoso.
Namun anehnya, Camat Hari Moektiono bersikeras membantah. Dalam wawancara dengan wartawan Javatimes, ia sempat mengaku “tidak tahu sama sekali” soal sewa lahan dua tahun, bahkan menyatakan baru mengetahui setelah kasus ini mencuat.
Padahal dalam kesempatan lain, ia juga mengaku sudah pernah mengingatkan Sunaryo agar tidak melanggar ketentuan sewa. Kontradiksi inilah yang membuat publik bertanya-tanya: benarkah Camat benar-benar tidak tahu, atau justru sengaja tutup mata?
“Sewa itu kan tahunan. Jadi kalau sampai dua tahun, saya tidak mengetahui, ucap Hari pada Selasa (30/9/2025).
Saya ingatkan jangan sesekali melaksanakan sewa di luar ketentuan, saya sampaikan seperti itu kepada Pak Lurah Naryo, timpal Hari di waktu yang hampir bersamaan.
Padahal regulasi sudah sangat jelas bahwa dalam Permendagri No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa menegaskan sewa tanah kas desa maksimal hanya untuk 1 tahun anggaran, bukan dua tahun sekaligus.
Dalam Perbup Nganjuk No. 36 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Kekayaan Desa juga menyebutkan bahwa hasil sewa wajib disetor ke kas daerah, bukan dikuasai pribadi.
Ironisnya, meski Camat sendiri mengakui ada pelanggaran prosedur, ia tidak menunjukkan sikap tegas. Ketika ditanya soal sanksi, ia hanya menjawab enteng:
“Saya pikir sementara ini belum berpikir lebih lanjut. Saat ini saya diberikan tugas bagaimana uang itu bisa dikembalikan.”
Jawaban ini jelas mengecewakan. Alih-alih menegakkan aturan, Camat justru seolah melindungi mantan lurah yang sudah jelas-jelas menyalahi prosedur dan menguasai uang ratusan juta rupiah yang bukan haknya.
Publik pun geram. Sebab, alih-alih memastikan proses hukum berjalan, justru ada kesan perkara ini cukup selesai dengan “surat pernyataan” dan janji pengembalian uang. Padahal, jika dibiarkan, praktik semacam ini akan menjadi preseden buruk, karena pejabat bisa leluasa menyewakan aset desa di penghujung masa jabatan, lalu cukup membuat pernyataan saat ketahuan.
Sementara itu, Lurah baru Jatirejo, Lusi, hanya bisa berupaya menata ulang agar peristiwa serupa tidak terulang. Tetapi tanpa keberanian Camat menindak tegas, publik menilai masalah ini hanya akan menguap tanpa ada efek jera.
Kasus Jatirejo ini seharusnya menjadi pintu masuk aparat penegak hukum. Jika tidak, kredibilitas pemerintah kecamatan dan kabupaten akan dipertaruhkan, dan masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan pada aparat yang mestinya menjaga aset daerah, bukan membiarkannya disalahgunakan.
(AWA)