![]() |
Eko Apri Darto |
NGANJUK, JAVATIMES -- Di sebuah rumah sederhana di Dusun Jenar, Desa Ngepung, Kecamatan Patianrowo, Kabupaten Nganjuk, lahirlah seorang bayi laki-laki pada 28 April 1974. Bayi itu kelak tumbuh menjadi sosok yang tidak hanya akrab dengan bau obat-obatan rumah sakit, tetapi juga dengan alunan gamelan yang mendayu. Namanya Eko Apri Darto, anak pertama dari pasangan Saeroji dan Suwarti.
Sejak kecil, Eko sudah terbiasa dengan disiplin. Ayahnya, seorang pegawai Depdikbud yang keras namun penuh kasih, mengajarkan arti tanggung jawab. Ibunya, seorang guru yang sabar, menanamkan keikhlasan dalam setiap langkah. Dari mereka, Eko belajar bahwa hidup bukan semata tentang diri sendiri, melainkan tentang bagaimana memberi arti bagi orang lain.
Jalan Panjang Menuju Pengabdian
Setelah menamatkan sekolah di Ngepung dan Kertosono, Eko melanjutkan pendidikan ke Akademi Keperawatan Karya Husada Pare. Tahun 1995, ia lulus dengan gelar perawat muda, penuh semangat untuk mengabdikan diri. Namun kenyataan tak seindah harapan. Bukannya langsung mendapat pekerjaan, Eko sempat menganggur beberapa tahun.
“Waktu itu rasanya berat sekali. Ingin mengabdi, tapi belum ada tempat,” kenangnya.
Kesabarannya berbuah hasil. Pada 1998, Eko diterima sebagai tenaga harian lepas di RS Bhayangkara Nganjuk. Setahun kemudian, ia mendapat SK honorer di RSUD Kertosono—rumah sakit yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang pengabdiannya hingga kini.
IGD: Antara Hidup dan Mati
Eko ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Dari sanalah ia belajar arti keteguhan hati. IGD adalah dunia yang tidak pernah tidur, tempat orang datang dalam kondisi paling rapuh: korban kecelakaan, pasien kritis, atau keluarga yang menangis histeris.
Salah satu momen yang tak pernah hilang dari ingatannya adalah tragedi kecelakaan bus jurusan Surabaya–Tasikmalaya di awal tahun 2000-an. Malam itu, bus besar menabrak rumah warga. Puluhan orang luka-luka, tujuh meninggal dunia. Fasilitas rumah sakit terbatas. Hanya ada enam tempat tidur, sementara korban terus berdatangan.
“Kami sampai minta bantuan juru parkir untuk mengangkat korban. Semua bergerak seolah berpacu dengan waktu,” tutur Eko, matanya menerawang.
Dalam setiap kasus darurat, ia selalu memegang satu prinsip: pasien bukan sekadar orang sakit, melainkan manusia yang harus diperlakukan layaknya keluarga. Prinsip itu membuatnya bertahan, bahkan ketika rasa lelah dan tekanan seolah tak ada habisnya.
Tahun 2006, Eko resmi diangkat sebagai PNS perawat. Pada 2014, ia dipindahkan ke Poli Ortopedi. Meski tak lagi bergelut langsung dengan IGD, dedikasinya tidak pernah berkurang. Baginya, setiap pasien adalah amanah.
Sisi Lain: Pencinta Karawitan
Di balik seragam perawat dan wajah serius di rumah sakit, Eko punya sisi lain yang begitu lembut: kecintaan pada seni karawitan. Sejak muda ia gemar menabuh gamelan, mendalami pewayangan, hingga menari Cakilan dengan penuh ekspresi.
Teman-temannya menjulukinya “Wayang” saat SMA, dan “Cakil” saat kuliah. Julukan itu masih melekat hingga kini, seakan menjadi penanda bahwa Eko bukan sekadar perawat, melainkan juga penjaga tradisi Jawa.
Pernah suatu ketika, ia mendapat kesempatan langka: belajar karawitan di pendopo almarhum Harmoko, Menteri Penerangan RI era Orde Baru. Dari pengalaman itu, pintu-pintu pentas terbuka. Ia ikut rombongan karawitan berkeliling dari kota ke kota, bahkan hingga ke luar daerah. Setiap denting gamelan yang ia tabuh adalah cara Eko menjaga warisan budaya leluhurnya agar tak lapuk dimakan zaman.
Kehangatan Keluarga
Di balik sosoknya yang terlihat tegar, Eko adalah suami dan ayah yang hangat. Pada 2003, ia menikah dengan Siti Yunik Indriyani. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putri: Nikolas Candrawati, kini berusia 22 tahun dan bekerja di sebuah klinik swasta di Kediri, serta Nararya Candrakirana, siswi SMA Negeri 1 Patianrowo.
Meski sibuk bekerja, Eko selalu berusaha meluangkan waktu untuk keluarganya. Baginya, kebahagiaan terbesar adalah melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berakhlak baik. “Saya hanya ingin anak-anak mendapat masa depan yang lebih baik daripada orang tuanya,” ucapnya lirih.
Jejak Teladan
Hidup Eko Apri Darto adalah perjalanan panjang tentang ketulusan. Dari ruang IGD yang penuh jeritan hingga panggung karawitan yang penuh harmoni, ia menapaki hidup dengan langkah sederhana namun bermakna.
Ia adalah gambaran nyata bahwa pengabdian bisa dilakukan dalam banyak cara: lewat profesi sebagai perawat yang menyelamatkan nyawa, maupun lewat seni yang menghidupkan budaya. Dua dunia yang berbeda, namun sama-sama berakar pada satu nilai: cinta.
Di tengah dunia yang serba cepat dan pragmatis, kisah Eko mengingatkan kita bahwa masih ada orang yang memilih jalan ikhlas. Bahwa ada sosok yang tak hanya bekerja untuk gaji, tetapi untuk sebuah panggilan jiwa. Dan bahwa di balik seragam putih seorang perawat, tersimpan hati yang berdenyut seirama dengan gamelan: lembut, tulus, dan penuh harmoni.
(Tim)