Aulia Alma'arif Nabila, siswa MAN 2 Nganjuk saat menerima piagam penghargaan dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa
NGANJUK, JAVATIMES -- Udara pagi di Surabaya pada 17 Agustus 2025 terasa lebih khidmat dari biasanya. Di halaman Gedung Negara Grahadi, mata ribuan pasang orang tertuju pada sosok remaja berseragam putih, berdiri tegak di bawah sorot matahari. Detik-detik pengibaran Sang Saka Merah Putih membuat suasana hening, seolah waktu berhenti sejenak.
Di antara kerumunan, sepasang orang tua menahan haru. Air mata mereka tak terbendung saat melihat putrinya, Aulia Alma’arif Nabila, melangkah pasti ke tengah lapangan, menjadi bagian dari Pasukan 45 Paskibraka Jawa Timur.
“Itu anak kami…,” bisik ibunya lirih, suara tercekat antara bangga dan terharu.
Bagi Aulia, momen itu bukan sekadar tugas seremonial. Itu adalah perjalanan panjang—tentang keraguan yang diubah jadi keberanian, tentang rindu yang dipendam selama karantina, dan tentang perjuangan yang akhirnya berbuah manis di panggung kehormatan provinsi.
Dari Drumband ke Paskibraka
Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa gadis kelahiran Nganjuk itu bisa menembus ketatnya seleksi Paskibraka hingga tingkat provinsi. Ia bukan anggota Paskibra, melainkan bagian dari ekstrakurikuler Drumband.
“Awalnya saya ragu, tapi dorongan keluarga dan guru membuat saya tambah semangat,” ujarnya lirih.
Keberanian itu mengubah segalanya. Dari sekitar 800 siswa di madrasahnya, hanya segelintir yang lolos seleksi. Aulia berhasil bertahan dari seleksi panjang—mulai dari tes kesehatan, parade, wawasan kebangsaan, kesamaptaan, hingga penilaian kepribadian. Hingga akhirnya, namanya tercatat sebagai satu dari empat wakil Nganjuk yang lolos ke tingkat provinsi.
Karantina dan Rindu yang Menyesakkan
Bagi remaja seusia Aulia, karantina selama hampir dua pekan adalah ujian tersendiri. Tanpa ponsel, tanpa bisa bertemu keluarga, ia hanya ditempa disiplin dan latihan keras. Malam-malam panjang di asrama sering membuatnya diam menahan rindu.
“Yang paling berat adalah tidak bisa mendengar suara orang tua. Baru bisa bertemu saat pengukuhan. Itu momen yang bikin air mata menetes,” kenangnya.
Ketika akhirnya ia dipertemukan kembali dengan kedua orang tuanya—Dyah Sismoerti Handayani dan Muhammad Arifin—tepat sebelum pengibaran, pelukan hangat menjadi saksi bisu perjuangan.
“Kami bangga sekali, tidak bisa berkata-kata. Melihat putri kami berdiri di Grahadi adalah hadiah terindah,” tutur sang ibu dengan mata berkaca-kaca.
Madrasah Ikut Bangga
Kebanggaan itu juga dirasakan oleh keluarga besar MAN 2 Nganjuk. Kepala sekolah, Kasnan, menegaskan bahwa capaian Aulia adalah bukti bahwa kerja keras tidak pernah mengkhianati hasil.
“Ini bukan hanya kebanggaan untuk keluarga, tapi juga untuk madrasah dan masyarakat Nganjuk. Semoga prestasi Nabila menginspirasi siswa lain untuk berani bermimpi besar,” ujarnya penuh haru.
Mimpi Baru di Depan Mata
Bagi Aulia, pengalaman menjadi anggota Paskibraka di Grahadi bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru. Ia kini mulai menatap masa depan: sekolah kedinasan, perguruan tinggi, atau mungkin jalan lain yang lebih luas.
“Yang pasti, pengalaman ini membuat saya yakin bahwa keraguan bisa dilawan. Kalau berusaha sungguh-sungguh, tidak ada yang mustahil,” katanya mantap.
Kisah Aulia adalah potret sederhana tentang seorang remaja dari kota kecil yang berani melangkah keluar dari zona nyaman. Dari seorang siswi Drumband yang awalnya ragu, ia menjelma menjadi sosok inspiratif—mengibarkan Merah Putih dengan penuh kebanggaan.
Bagi Nganjuk, Aulia bukan hanya putri daerah. Ia adalah simbol harapan, bahwa generasi muda mampu menjawab tantangan zaman dengan disiplin, semangat, dan keberanian.
(AWA)