JOMBANG, JAVATIMES – Dewan Pendidikan Kabupaten Jombang resmi menggelar rapat perdana pada 15 Agustus 2025, tiga hari setelah dilantik oleh Bupati H. Warsubi. Lembaga nonstruktural ini diberi mandat besar: menjadi mitra kritis, pengawas, sekaligus penggerak kebijakan pendidikan di daerah selama lima tahun ke depan.
Namun ada pesan berbeda yang muncul. Menurut H. Ikhsan Effendi, Dewan Pendidikan harus belajar dari sosok sederhana: Farel Prayoga, bocah desa yang lima tahun lalu mengguncang Istana Negara dengan lagu Ojo Dibandingke.
Harmoni atau Fals
Komposisi Dewan Pendidikan Jombang terbilang berwarna. Terdapat guru senior, akademisi, pengusaha, aktivis NU, hingga Muhammadiyah. Ikhsan mengibaratkan mereka sebagai orkestra besar: ada yang memainkan kendang, gitar, hingga suling.
“Jika tidak kompak, hasilnya bisa fals. Tetapi bila bersinergi, harmoni indah akan lahir untuk pendidikan Jombang,” ujarnya.
Meski tak punya palu sidang atau kewenangan anggaran seperti DPR, justru di situlah letak kekuatan Dewan Pendidikan: kebebasan bicara tanpa beban politik, menjadi suara jernih yang memberi solusi, tanpa takut ditegur.
Tantangan Pendidikan Jombang
Persoalan pendidikan di Jombang disebut klasik namun akut: sekolah unggulan semakin maju, sekolah pinggiran tertinggal. Guru cakap teori tetapi kerap gagap menghadapi generasi TikTok. Fasilitas minim, motivasi belajar rendah, dan kesenjangan kesempatan masih jadi kenyataan.
“Bisakah Dewan Pendidikan menyelesaikan semuanya? Tidak. Tapi mereka bisa jadi pengingat bahwa pendidikan bukan sekadar gedung megah atau nilai rapor. Pendidikan adalah ruang agar anak-anak berani bermimpi, berani menyanyi seperti Farel meski dari panggung kecil,” tegas Ikhsan.
Dari Kampung untuk Istana
Keteladanan Farel kembali diangkat: anak desa yang tampil tulus, berani, tanpa takut salah nada. Sikap polos itulah yang justru membuat Presiden ikut bergoyang dan jutaan rakyat terhibur.
Ikhsan menilai Dewan Pendidikan perlu meneladani keberanian itu. Bukan sekadar duduk di ruang rapat, tetapi turun ke lapangan: melihat guru honorer dengan gaji Rp500 ribu, murid belajar dari ponsel pinjaman, hingga sekolah yang kursinya rebutan sementara di sisi lain kursi kosong tak terisi.
“Jika Dewan Pendidikan hanya jadi klub elit diskusi, percuma. Jombang tidak butuh orkestra yang berlatih di ruang kedap suara. Jombang butuh panggung kampung yang hidup,” ujarnya.
Menjadi Suara Kecil yang Didengar
Pada akhirnya, pesan yang disampaikan sederhana: Dewan Pendidikan harus menjadi telinga yang peka dan pengeras suara bagi mereka yang lemah. Mendengar guru honorer, bocah desa, hingga wali murid bingung soal seragam.
“Dewan Pendidikan yang hidup bukan yang paling pintar, tapi yang paling tulus. Seperti Farel menyanyi sederhana, tapi mampu membuat Presiden tersenyum, dan diam-diam menyentuh hati bangsa,” kata Ikhsan menutup refleksinya.
(Gading)