![]() |
SMKN 2 Bagor (Foto: Istimewa) |
NGANJUK, JAVATIMES — Polemik belum diberikannya ijazah kepada sejumlah siswa SMKN 2 Bagor, Kabupaten Nganjuk, terus bergulir dan menyita perhatian publik.
Pemerhati pendidikan asal Nganjuk, Nita Fitriana, S.Pd., M.Sc., angkat bicara dan menyebut persoalan ini sebagai cerminan lemahnya tata kelola pendidikan di tingkat satuan sekolah.
Dalam pernyataannya kepada Javatimes, Jumat (6/6/2025), Nita menegaskan bahwa ijazah adalah hak dasar setiap lulusan dan tidak boleh dijadikan alat untuk menekan siswa atau wali murid.
“Ijazah adalah hak mutlak siswa. Tidak ada alasan yang dapat membenarkan penahanan ijazah, apalagi jika dikaitkan dengan administrasi atau tunggakan. Dunia pendidikan seharusnya menjunjung tinggi asas keadilan dan prinsip nondiskriminatif,” tegasnya.
Nita menyoroti dugaan penahanan ijazah karena belum dilunasinya sejumlah kewajiban administratif oleh siswa. Menurutnya, jika praktik itu benar terjadi, maka hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap semangat pendidikan nasional yang inklusif dan berkeadilan.
“Sekolah negeri yang dibiayai negara tidak semestinya menjadikan ijazah sebagai alat tekan. Kewajiban administratif harus dikelola secara bijak, tanpa mengorbankan masa depan siswa,” tambahnya.
Ia pun mendorong Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Nganjuk untuk turun tangan mengevaluasi kebijakan dan praktik di lapangan secara menyeluruh.
“Kasus semacam ini bisa berdampak serius—bukan hanya menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan, tapi juga membatasi peluang anak untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan. Pemerintah harus hadir dengan solusi konkret dan adil,” ujarnya.
Penjelasan dari Pihak Sekolah
Kepala SMKN 2 Bagor, Edy Suyono, saat dikonfirmasi membenarkan bahwa masih ada 7 hingga 8 ijazah yang belum diserahkan kepada pemiliknya. Namun ia membantah bahwa penahanan itu terkait dengan masalah tunggakan.
“Itu karena belum cap tiga jari, kata Edy saat dikonfirmasi via sambungan telepon, Rabu (4/6/2025).
Namun demikian, pernyataan tersebut belum sepenuhnya menenangkan kekhawatiran publik. Pasalnya, pernyataan berbeda justru muncul dari Wakil Kepala SMKN 2 Bagor, Suryani, yang menyinggung soal kewajiban orang tua dalam urusan administrasi.
“Lho, kalau memang itu kewajiban orang tua, njenengan sebagai wali murid, njenengan bayar atau tidak?” ucap Suryani dalam sebuah wawancara terpisah.
Ketika ditanya apakah siswa masih bisa mengambil ijazah dengan mengajukan surat permohonan keringanan, Suryani menyarankan agar hal itu dikonsultasikan langsung ke kepala sekolah atau komite.
“Silakan ke kepala sekolah atau komite. Kita hanya sebagai penerus dari keputusan komite,” dalihnya.
Harapan Masyarakat dan Desakan Evaluasi
Polemik ini pun memunculkan keprihatinan di kalangan masyarakat. Banyak yang berharap pemerintah daerah, melalui Dinas Pendidikan dan instansi terkait, segera mengambil tindakan tegas agar hak-hak siswa tidak lagi terhambat oleh persoalan administratif.
Kejadian semacam ini menjadi pengingat bahwa transparansi, akuntabilitas, dan kepekaan sosial mutlak diperlukan dalam mengelola dunia pendidikan.
(AWA)