
Kantor Cabdindik Wilayah Kabupaten Nganjuk
NGANJUK, JAVATIMES — Pernyataan pejabat Cabang Dinas Pendidikan (Cabdindik) Wilayah Kabupaten Nganjuk terkait polemik dugaan sumbangan di SMKN 1 Kertosono kian menuai kontroversi. Alih-alih menghadirkan kejelasan dan ketegasan, pernyataan yang disampaikan justru memperlihatkan kontradiksi mencolok antarpejabat, memantik kemarahan publik dan memperdalam krisis kepercayaan masyarakat terhadap pengawasan pendidikan.
Jika sebelumnya Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Cabdindik Wilayah Kabupaten Nganjuk, Iwan Triyono, dengan tegas menyatakan bahwa tenaga pendidik dan wali kelas dilarang terlibat dalam penyampaian maupun penarikan sumbangan, pernyataan berbeda justru disampaikan Plt Kasi SMK Cabdindik Nganjuk, Tekey Widiastuti.
Saat dikonfirmasi Javatimes baru-baru ini, Tekey mengakui bahwa wali kelas seharusnya tidak mengumumkan nominal sumbangan, namun dalam waktu bersamaan justru memberikan pembenaran situasional.
“Ya sebenarnya itu gak boleh ya, cuman kan mungkin petugas komitenya pas lagi gaada di situ,” ucap Tekey.
Pernyataan tersebut sontak menimbulkan pertanyaan publik: sejak kapan ketiadaan petugas komite menjadi alasan pembenar bagi guru melanggar batas tugasnya? Apalagi larangan tersebut secara tegas telah diucapkan oleh pimpinan langsung di Cabdindik.
Kontradiksi semakin kentara ketika Tekey menanggapi soal munculnya nominal sumbangan. Alih-alih menegaskan larangan sebagaimana diatur dalam regulasi, Tekey justru menggiring persoalan ke alasan kebutuhan operasional sekolah.
“Sekarang bantuan hanya segitu untuk operasional. Untuk pemeliharaan, untuk lomba-lomba Agustusan apa cukup dana dari pemerintah?” ujar Tekey, mempertanyakan balik kondisi anggaran.
Pernyataan ini dinilai publik sebagai pengalihan isu, bahkan berpotensi membenarkan praktik yang bertentangan dengan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang secara tegas melarang penentuan nominal sumbangan serta keterlibatan guru dalam penggalangan dana.
Lebih jauh, Tekey menyebut bahwa nominal sumbangan yang beredar tidak seragam. Namun ketika diminta merinci kisaran nominal tersebut, ia mengaku tidak mengetahui detailnya.
“Katanya beragam, nominalnya berapa saya gak tahu,” ujarnya, sembari berdalih kesibukan pekerjaan.
Pengakuan ini justru memperkuat dugaan lemahnya pengawasan internal Cabdindik. Bagaimana mungkin pejabat teknis bidang SMK tidak mengetahui detail kebijakan keuangan sekolah yang tengah berpolemik luas di publik?
Pernyataan Tekey kembali menuai kecaman saat ia menanggapi keterlibatan wali kelas dalam penyampaian informasi pungutan berkedok sumbangan. Ia justru menyebut hal tersebut “sebenarnya tidak apa-apa” selama demi kepentingan sekolah.
“Ya sakjane sih gapapa, cuman kan untuk kebaikan sekolah,” ucap Tekey.
Pernyataan ini dinilai bertentangan secara frontal dengan prinsip profesionalisme pendidik, sekaligus menabrak larangan eksplisit Plt Kacabdin sendiri. Ketika dikonfrontir dengan pernyataan Iwan Triyono yang melarang keterlibatan guru dan wali kelas, Tekey justru melempar pertanyaan balik.
“Terus kalau terjadi seperti itu, terus yoopo?” tanyanya.
Alih-alih memberi solusi atau langkah penindakan, pertanyaan tersebut justru menimbulkan kesan kebingungan struktural dan absennya komando kebijakan di tubuh Cabdindik.
Tekey juga membenarkan adanya surat dari SMKN 1 Kertosono tertanggal 5 Desember yang berisi tanggapan atas polemik di media sosial dan keluhan wali murid. Namun ia menolak membuka isi surat maupun balasan dari Cabdindik.
“Isinya gak boleh tahu toh,” katanya singkat.
Sikap tertutup ini semakin memperkuat kritik publik soal minimnya transparansi, baik di tingkat sekolah maupun di level pengawas pendidikan.
Rangkaian pernyataan ini membuat masyarakat geram. Di satu sisi, pejabat tertinggi Cabdindik menyampaikan larangan tegas. Di sisi lain, pejabat teknis justru memberi pembenaran, relativisasi, bahkan terkesan membela praktik yang dipersoalkan.
Kontradiksi terbuka ini bukan sekadar persoalan komunikasi, melainkan mencerminkan rapuhnya penegakan aturan pendidikan. Ketika larangan hanya berhenti sebagai pernyataan normatif, sementara praktik di lapangan dibiarkan dengan dalih “kebaikan sekolah”, maka yang tercederai bukan hanya regulasi, tetapi juga rasa keadilan wali murid dan hak siswa.
Kasus SMKN 1 Kertosono kini menjelma menjadi cermin buram pengawasan pendidikan di daerah. Publik pun menanti: apakah kontradiksi ini akan diluruskan dengan tindakan tegas, atau kembali diredam dengan dalih kesibukan birokrasi?
(AWA)

Komentar