![]() |
SMKN 2 Bagor, Kabupaten Nganjuk |
Namun di balik penyerahan ini, muncul sejumlah pertanyaan publik. Dugaan praktik penahanan ijazah karena tunggakan pembayaran mencuat kembali, terutama setelah pengakuan dari orang tua A.
Tagihan Rp2,7 Juta, Siswa Takut ke Sekolah
Orang tua A, yang minta disamarkan namanya sebagai Warid, menyebut anaknya sempat enggan kembali ke sekolah karena takut ditagih tunggakan sebesar Rp2.700.000. Ia menyatakan nominal tersebut tercatat dalam sebuah catatan pada 14 Mei 2024, mencakup pungutan insidental sebesar Rp600.000 dan berbagai sumbangan lainnya.
“Kami takut datang karena tidak tahu harus bagaimana. Sudah bayar Rp1 juta selama sekolah, tapi di daftar tagihan masih tertulis Rp2,7 juta,” ungkap Warid kepada awak media.
Warid akhirnya mengadu ke media. Menanggapi hal tersebut, tim awak media mendatangi sekolah pada Senin (2/6/2025) untuk mencari penjelasan dari pihak sekolah.
Pihak Sekolah Bantah Tahan Ijazah, Lempar Soal Tunggakan ke Komite
Wakil Kepala Sekolah bidang Humas, Suryani, membantah tudingan penahanan ijazah. Ia menyebut alasan ijazah belum diserahkan semata-mata karena siswa belum melakukan cap tiga jari.
Namun, saat ditanya mengenai tunggakan yang disebut oleh wali murid, Suryani justru balik bertanya kepada wartawan.
“Lho, kalau memang itu kewajiban orang tua, kados njenengan (seperti Anda) sebagai orang tua, njenengan bayar atau tidak?” ucapnya.
Saat didesak apakah siswa bisa tetap mengambil ijazah dengan mengajukan surat keringanan, Suryani menyarankan agar hal itu ditanyakan langsung ke kepala sekolah atau komite. Ia berdalih bahwa pihaknya hanya sebagai penerus dari keputusan komite.
"Silakan ke kepala sekolah atau komite, kita sebagai penerus dari komite," dalihnya.
Media Dibatasi, Siswa dan Orang Tua Diarahkan Klarifikasi
Pada Selasa (3/6), tim media kembali mendampingi A dan orang tuanya ke sekolah. A akhirnya melakukan cap tiga jari dan ijazah pun diserahkan. Namun suasana menjadi tidak biasa ketika media hendak meminta komentar dari siswa dan orang tua usai penyerahan.
Wakil Kepala Sekolah bidang Humas, Suryani, justru meminta media untuk tidak langsung mewawancarai dan menyebut bahwa wali murid harus melakukan klarifikasi terlebih dahulu.
“Sebentar, pihak siswa dan wali murid harus klarifikasi dulu,” ucapnya sambil membatasi ruang gerak wartawan.
Situasi sempat memanas ketika tim media hendak meninggalkan lokasi namun dicegat oleh salah satu guru dengan alasan proses klarifikasi belum selesai. Padahal, ijazah telah resmi diserahkan, dan tidak ada pernyataan resmi bahwa masih ada proses administratif yang harus ditempuh.
Delapan Ijazah Lain Masih Tertahan
Fakta lainnya, menurut keterangan pihak sekolah, masih ada delapan ijazah siswa lainnya dari berbagai angkatan—termasuk tahun 2022 dan 2023—yang belum diambil.
Pihak sekolah kembali menegaskan bahwa ijazah-ijazah tersebut tidak ditahan, melainkan karena siswa-siswa terkait belum melakukan cap tiga jari.
Namun kondisi ini memunculkan spekulasi di tengah masyarakat, terutama soal keterkaitan antara tunggakan biaya dan proses penyerahan ijazah. Terlebih lagi, tidak semua wali murid memahami bahwa cap tiga jari bisa dilakukan tanpa harus melunasi terlebih dahulu seluruh tunggakan.
Butuh Transparansi dan Regulasi yang Tegas
Kasus ini menunjukkan pentingnya transparansi pengelolaan dana dan komunikasi yang jelas antara sekolah dan wali murid. Selain itu, perlunya pengawasan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur agar kasus serupa tidak berulang dan hak siswa atas ijazah sebagai dokumen resmi pendidikan tidak menjadi alat tekan yang bersifat administratif atau finansial.
Javatimes akan terus memantau perkembangan lebih lanjut terkait delapan ijazah lainnya yang belum diserahkan, serta menelusuri mekanisme kebijakan penyerahan ijazah di sekolah negeri yang seharusnya bebas pungutan liar.
(AWA)