JOMBANG, JAVATIMES – Gonjang-ganjing isu mutasi jabatan di tubuh RSUD Jombang semakin terang benderang. Dua pejabat struktural rumah sakit pelat merah itu resmi mengajukan pengunduran diri. Fakta ini kian memperkuat dugaan adanya skenario mutasi besar-besaran yang sejak lama ramai beredar.
Dua dokumen disposisi yang bocor ke publik menyingkap dinamika mencengangkan. Dokumen pertama berisi permohonan pengunduran diri dari Sutikno, S, M.Kes, Kasubag Umum dan Kepegawaian RSUD Jombang, tertanggal 15 Juli 2025. Sementara dokumen kedua menunjukkan pengajuan pengunduran diri dari dr. Iwan Priyono, Sp.OG, Wakil Direktur Pelayanan RSUD Jombang, melalui surat tertanggal 10 September 2025.
Langkah mundur dua petinggi RSUD ini bukan sekadar formalitas biasa. Publik menilai, ini adalah “alarm keras” bahwa isu mutasi yang selama ini dianggap sebatas spekulasi ternyata benar-benar dijalankan. Terlebih, setelah pelantikan pejabat pada Kamis, 12 September 2025, bocoran “dokumen kabinet” yang semula diragukan, kini sahih adanya.
Fenomena ini bukan lagi sekadar pergulatan internal. Aroma politik pekat tercium, menunjukkan ada kekuatan tak kasat mata yang mengatur skenario mutasi dengan pola transaksional. Potret manajemen krisis di RSUD Jombang kini telanjang di depan publik.
Sejumlah kalangan mengingatkan, pengunduran diri pejabat di sektor strategis pelayanan bisa menjadi pukulan telak bagi stabilitas RSUD Jombang, rumah sakit rujukan terbesar di kabupaten. Gejolak birokrasi yang dipicu isu mutasi diduga memicu tekanan psikologis hingga lahirnya perlawanan diam-diam dari pejabat internal.
Menanggapi situasi ini, praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik Jombang, Beny Hendro Yulianto, SH, menyatakan mutasi sarat kepentingan politik tersebut berpotensi cacat hukum.
“Mutasi ini berpotensi cacat hukum, karena jelas-jelas melanggar prinsip pengelolaan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pengisian jabatan itu wajib berbasis kompetensi, profesionalisme, dan meritokrasi, bukan atas dasar kepentingan politik maupun balas jasa,” tegas Beny.
Ia menambahkan, konsekuensi dari mutasi bermuatan politik bisa sangat fatal, karena setiap keputusan yang tidak sesuai prosedur bisa dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh hukum.
“Menurut informasi yang saya peroleh, ada pejabat yang ditandai sebagai ‘orangnya Bu Mundjidah’, lalu disingkirkan, dan faktanya kini benar-benar diganti. Ini bukan lagi dugaan, tapi bukti nyata bahwa aroma politis menggurita,” tambahnya.
Beny menegaskan, bupati jangan sampai terjebak pada praktik mutasi bermotif politik yang berpotensi memicu konflik kepentingan.
“Bupati harus mendengar suara publik, tokoh masyarakat, akademisi, hingga ulama. Jangan sampai mutasi yang seharusnya untuk perbaikan birokrasi justru berubah menjadi skenario politis penuh intrik. Jika dibiarkan, ini bisa meledak jadi krisis legitimasi,” pungkasnya.
(Gading)