![]() |
Pembangunan gedung baru di MAN 2 Nganjuk |
NGANJUK, JAVATIMES – Dugaan lemahnya transparansi keuangan kembali mencuat di dunia pendidikan. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Nganjuk menjadi sorotan setelah praktik pungutan rutin bertajuk Sumbangan Operasional Pendidikan Madrasah (SOPM) memunculkan pertanyaan publik—mulai dari dasar hukum, besaran nominal, hingga mekanisme pertanggungjawaban.
Hasil penelusuran Javatimes menunjukkan, nominal SOPM yang dibebankan kepada siswa tidak seragam: ada yang dikenai Rp100.000 per bulan, ada pula yang membayar Rp125.000. Perbedaan ini memunculkan tanda tanya besar: apakah nominal tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan resmi dengan wali murid, atau justru tanpa mekanisme formal yang jelas?
Kepala Madrasah Mengaku Tak Tahu Total Dana
Saat dikonfirmasi, Kepala MAN 2 Nganjuk, Kasnan, membenarkan adanya SOPM. Namun ia menegaskan bahwa penentuan besaran nominal merupakan kewenangan komite madrasah.
“Sepengetahuan saya, itu kewenangannya komite madrasah. Saya rasa tidak (ada penetapan nominal) dari sekolah,” ujar Kasnan, Senin (14/7/2025).
Ironisnya, Kasnan mengaku tidak mengetahui berapa total dana yang terkumpul. Bahkan, saat ditanya persentase pembayaran yang sudah masuk, ia hanya mengacu pada laporan lisan.
“Saya tanya, baru sekian persen katanya. Berapa persisnya saya tidak tahu. Baru sedikit, pak,” ujarnya sambil tertawa.
Laporan Pertanggungjawaban Tertunda
Kasnan juga mengakui belum ada laporan resmi untuk tahun berjalan. Ia berdalih keterlambatan terjadi karena ketua komite, yang bertanggung jawab penuh, sedang menunaikan ibadah haji.
“Biasanya tiap tahun dilaporkan. Kemarin masalahnya para pengurus komite berangkat haji. Nanti akhir tahun baru dilaporkan,” katanya.
Namun, data yang diperoleh Javatimes menunjukkan bahwa jumlah anggota komite di MAN 2 Nganjuk ada sembilan orang, dan hanya ketua komite yang berangkat haji.
“Yang naik haji ketua komite, kebetulan sama saya. Yang lain bukan tidak bisa melaporkan, tapi memang belum dilaporkan. Jangan diplintir,” tandasnya.
Potensi Pelanggaran Prinsip Good Governance
Praktik pengelolaan SOPM seperti ini berpotensi melanggar prinsip good governance yang menjadi acuan pengelolaan keuangan di sektor pendidikan.
Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, sekolah negeri—termasuk madrasah—wajib membuka informasi penggunaan dana kepada publik secara berkala dan dapat diakses kapan saja.
Minimnya akses informasi dan tidak adanya laporan real-time berpotensi menciptakan ruang abu-abu bagi dugaan penyalahgunaan dana, meski belum terbukti.
Dalam konteks akuntabilitas publik, keterlambatan laporan bukan hanya masalah administrasi, tetapi juga menyangkut hak warga untuk tahu ke mana uang mereka digunakan.
Desakan Publik untuk Audit Independen
Pemerhati pendidikan di Jawa Timur, Nurwadi Hadinagoro menilai, untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, perlu dilakukan audit internal maupun eksternal terhadap dana SOPM.
"Audit ini akan memastikan apakah pungutan tersebut sesuai dengan prosedur, tidak melanggar aturan, dan benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan siswa," bebernya.
Nurwadi menambahkan, langkah ini selaras dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pendidikan. Dana pendidikan yang bersumber dari masyarakat, tegasnya, adalah amanah yang harus dikelola dengan integritas dan keterbukaan penuh.
(AWA)