SURAKARTA, JAVATIMES — Penobatan KGPAA Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram atau Gusti Purbaya sebagai SISKS Pakubuwana XIV kembali memanaskan tensi suksesi di Keraton Surakarta. Prosesi Jumenengan Dalem Nata Binayangkare yang digelar pada Sabtu (15/11) di Bangsal Manguntur Tangkil, Siti Hinggil, memicu sorotan publik karena berlangsung di tengah dualisme kepemimpinan yang kian mengeras.
Upacara Dianggap Sah, Legitimasi Justru Dipersoalkan
Proses jumenengan berlangsung dengan tata laku adat keraton. Namun, legalitas prosesi itu dipertanyakan sejumlah pihak lantaran dilakukan tanpa keterlibatan Lembaga Dewan Adat (LDA) lembaga yang selama ini menjadi otoritas tertinggi dalam penetapan raja.
Dalam sabdanya, Gusti Purbaya menetapkan gelarnya sebagai SISKS Pakubuwana XIV serta menyampaikan tiga komitmen kepemimpinan: berpegang pada syariat Islam dan paugeran keraton, menjaga NKRI, dan melestarikan budaya Jawa. Namun deklarasi itu tidak serta-merta meredam kontroversi mengenai keabsahan suksesi tersebut.
Polemik Meruncing: LDA Berpegang pada Putusan MA
Dualisme takhta bermula dari polemik legitimasi sejak kondisi kesehatan almarhum PB XIII menurun hingga wafat. LDA mengacu pada putusan Mahkamah Agung RI, yang menetapkan PB XIII dalam kondisi sakit permanen sekaligus menegaskan status permaisuri yang sah.
Berdasarkan putusan itu, LDA menyatakan garis keputraan menjadi terang: KGPH Hangabehi putra tertua dari istri kedua PB XIII yang sah menurut paugeran ditetapkan sebagai pewaris takhta. LDA kemudian menobatkannya sebagai SISKS Pakubuwana XIV versi lembaga adat.
Pakar Hukum dan Budayawan: Prosesi Purbaya Berpotensi Menyimpang
Ketua Pakasa Malang Raya, KRA Dwi Indrotito Pradoto Adiningrat, menilai penobatan Purbaya menyisakan persoalan mendasar. Dalam kapasitasnya sebagai ahli hukum dan budayawan, ia menyebut jumenengan tersebut berpotensi menyimpang dari paugeran karena melewati otoritas LDA dan mengabaikan putusan MA.
“LDA sudah memegang putusan MA terkait status PB XIII dan permaisuri. Dari situ jelas bahwa status keputraan mahkota Gusti Purbaya masih diragukan keabsahannya,” ujarnya.
Ia menambahkan, keluarga inti PB XII dan PB XIII turut menyaksikan penetapan KGPH Hangabehi oleh LDA, sehingga legitimasi adatnya lebih kuat dibanding penobatan versi Purbaya.
Konsekuensi Serius: Potensi Konflik Hukum Hingga Sosial
Menurut KRA Dwi, sengketa ini tidak bisa dibiarkan karena menyangkut sentana dalem, abdi dalem, hingga masyarakat adat yang menjunjung paugeran sebagai hukum tertinggi keraton.
“Penobatan raja bukan perkara administratif. Ini perkara sakral yang menyangkut marwah Dinasti Mataram. Becik ketitik, olo ketoro,” tegasnya.
Ia mengingatkan, penetapan raja yang dianggap tidak berdasar paugeran berpotensi memicu konflik berkepanjangan, bahkan merembet pada ranah hukum negara jika pihak-pihak tertentu membawa perkara ini ke jalur litigasi.
Tim Advokat Siap Tempuh Jalur Hukum
KRA Dwi menyatakan dirinya bersama tim advokat Kantor Yustitia Indonesia, serta dalam kapasitas sebagai Presiden Direktur KHYI, siap mengawal KGPH Hangabehi dalam konflik dualisme ini.
“Kami siap menegakkan hukum, baik adat maupun positif, demi menjaga marwah Keraton Surakarta,” tandasnya.
(Tim)

Komentar