![]() |
| Humas KPH Jombang, Kristianto |
JAWA TIMUR, JAVATIMES — Status pesanggem sebagai “mitra Perhutani” kembali memicu sorotan publik. Di Kecamatan Jatikalen dan Lengkong, Kabupaten Nganjuk, sejumlah petani penggarap hutan mengaku dibebani pungutan tak jelas yang disebut sebagai sharing hasil panen, mencapai 10 persen, tanpa adanya dasar administrasi yang transparan.
Menggarap Hutan Negara, Namun Tak Pernah Tahu Hak dan Kewajibannya
Pesanggem adalah petani yang diperbolehkan mengelola lahan hutan negara dalam sistem tumpangsari. Secara konsep, hubungan tersebut disebut kemitraan. Namun, di lapangan, posisi pesanggem tampak jauh dari setara. Mereka bergantung pada kebijakan pengurus LMDH dan KPH, yang ironisnya justru minim penjelasan terbuka.
Di dua kecamatan itu, ratusan hektare lahan Perhutani KPH Jombang dikelola para pesanggem. Namun yang terjadi bukanlah kemitraan yang tertib dan terukur. Sebaliknya, para petani menghadapi kewajiban membayar pungutan yang besarannya tidak seragam, mekanismenya tidak jelas, dan pencatatannya tidak pernah transparan.
Pungutan 10 Persen Tanpa Aturan: Barang? Uang? Berdasarkan Luasan? Tidak Pernah Ada Kuitansi
Sejumlah pesanggem mengungkapkan bahwa pungutan 10 persen dipungut melalui LMDH. Ada yang dipungut menggunakan barang hasil panen, ada yang dihitung berdasarkan luasan garapan, dan ada pula yang tidak pernah dipungut sama sekali.
Rohman (nama samaran) menyampaikan bahwa pungutan dikumpulkan oleh bendahara LMDH, namun tanpa laporan resmi dan tanpa dokumentasi.
“Katanya banyak tunggakan, tapi kami tak pernah diberi tahu totalnya. Semua gelap,” ujarnya.
Yang lebih memprihatinkan, tidak satu pun pesanggem menerima kuitansi ketika membayar.
“Kami bayar, tapi tanpa bukti apa pun. Lalu bagaimana kami tahu kewajiban kami sudah terpenuhi?” tambahnya.
Rohim (nama samaran) juga mengaku patuh membayar, namun rekan penggarap lain—yang memiliki lahan dan panen—tidak membayar sepeser pun.
"Tidak ada konsekuensi. Tidak ada teguran. Tidak ada penjelasan," beber Rohim.
Kondisi ini memperkuat dugaan adanya ketidakteraturan yang disengaja di tingkat LMDH.
Perhutani Menyebut Itu PNBP, Bukan Sharing—Tetapi Wartawan Dilarang Bertanya ke Pesanggem
Saat dikonfirmasi, Humas KPH Jombang, Kristianto, mengklaim bahwa pungutan tersebut sebenarnya adalah PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), bukan sharing.
“Pembayaran PNBP dikoordinasi oleh LMDH. Mereka yang mengumpulkan,” tegasnya.
Namun saat ditanya mana bukti pembayaran, dan mengapa pesanggem tidak pernah menerima kuitansi, Kristianto justru bersikap tertutup.
“Jangan tanya ke pesanggem. Tanyakan saja ke LMDH," dalihnya.
Sikap seperti ini justru memperbesar kecurigaan bahwa pencatatan keuangan di tingkat bawah tidak pernah berjalan sesuai standar administrasi negara.
Wengkon, PKS, hingga Transformasi LMDH: Banyak Istilah, Minim Kepastian
Kristianto menjelaskan struktur kemitraan—mulai dari dokumen wengkon, PKS, hingga transformasi LMDH menjadi KKP/KKPP berbadan hukum.
Tetapi seluruh penjelasan itu tidak menyentuh akar masalah. Mengapa pesanggem tidak memiliki bukti pembayaran PNBP? Mengapa pungutannya berbeda-beda? Mengapa ada yang tidak membayar dan tetap aman? Dan paling penting: ke mana aliran uang itu selama ini?
Jika sistem benar-benar tertib, harusnya tidak ada ruang abu-abu bagi pungutan yang tidak menyentuh administrasi resmi.
Kemitraan atau Ketidakteraturan Sistemik?
Perhutani menyebut pesanggem sebagai mitra yang diberdayakan untuk penanaman dan produksi. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa kewajiban pesanggem dikelola tanpa standar, tanpa bukti, tanpa laporan periodik, dan tanpa akses informasi.
Arahan agar wartawan tidak menanyakan apa pun kepada pesanggem justru memperkuat dugaan ketertutupan yang tidak semestinya terjadi dalam pengelolaan hutan negara.
Kini, para pesanggem menunggu kejelasan. Mereka telah bekerja, menanam, merawat, menjaga hutan negara, namun tidak pernah tahu ke mana uang yang mereka bayarkan mengalir.
Temuan ini menuntut adanya audit menyeluruh, baik terhadap LMDH maupun mekanisme PNBP yang berjalan, agar masyarakat tidak lagi menjadi korban ketidakjelasan administrasi.
(AWA)

Komentar