JOMBANG, JAVATIMES – Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sempat memicu gejolak di Kabupaten Pati mendapat sorotan dari DR Solikin Rusli tokoh masyarakat Jombang. Ia mengingatkan agar pemerintah daerah bersikap bijak dan tidak hanya bersembunyi di balik regulasi tanpa memperhatikan beban masyarakat.
“Kasus yang terjadi di Pati sebenarnya sudah pernah terjadi di Jombang dua tahun lalu. Waktu itu masyarakat juga sudah protes, hanya saja momentumnya kurang tepat,” ungkap DR Solikin Rusli
Menurutnya, alasan Bupati yang mendalilkan kenaikan PBB berdasarkan Perda dinilai tidak sepenuhnya benar.
“Memang kenaikan itu ada dasar Perda, tapi kenaikan yang berlipat-lipat itu bukan karena Perda, melainkan karena kesalahan penghitungan appraisal tahun 2003 yang menggunakan sistem sampling, sehingga hasilnya tidak akurat,” jelasnya.
Ia menilai, bupati saat ini seharusnya memiliki kewenangan untuk mengoreksi kebijakan tersebut.
“Jangan hanya merujuk pemerintahan masa lalu. Jangan menunggu ada protes besar dulu. Banyak warga tidak sempat atau tidak mampu mengurus keberatan. Bupati harus cerdas menangkap situasi ini,” tegasnya.
Dr Solikin Rusli mengingatkan bahwa di Pati 200-300 % di Jombang 300-400 hingga 1000%.
“Kalau di Jombang sampai 300–400% atau lebih, itu bisa jadi masalah besar. Cabut Perbup atau koreksi kembali, turunkan tarif seperti semula, lalu lakukan appraisal ulang yang benar. Kalau ada kenaikan wajar, masyarakat pasti bisa menerima. Tapi jangan terlalu besar,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pemerintah juga harus peka terhadap kondisi masyarakat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi.
“Masyarakat punya kewajiban membayar pajak, tapi pemerintah juga harus memahami beban hidup masyarakat saat ini,” imbuhnya.
Selain soal PBB, ia juga menyoroti kisruh politik yang terjadi di Pati, di mana Bupati sempat menyatakan mundur namun kemudian menarik kembali keputusan tersebut. “Menurut saya, kalau seorang bupati sudah mengumumkan mundur di depan umum lalu membatalkannya, itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Padahal syarat menjadi bupati adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela,” tegasnya.
Ia menilai tindakan tersebut mencederai integritas kepemimpinan. “Kalau sudah mengundurkan diri lalu tidak jadi mundur, apalagi pernyataannya terbuka, itu memalukan. Secara moral, tidak layak lagi menjabat,” tambahnya.
Meskipun demikian, ia tidak setuju jika pengunduran diri seorang kepala daerah semata-mata karena tekanan massa. Namun ia mengingatkan, jika hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya, masyarakat punya caranya sendiri untuk menuntut keadilan.
“Kalau keadilan tidak ada, jangan salahkan masyarakat kalau terjadi gelombang protes. Bupati harus peka terhadap kondisi sekarang, bukan hanya beralasan dengan kebijakan masa lalu,” pungkasnya.
(Gading)