![]() |
Pengamat Hukum Prayogo Laksono, S.H., M.H. |
OPINI, JAVATIMES -- Dalam membaca atau menafsirkan peraturan perundang-undangan, kita sebagai masyarakat yang dianggap oleh hukum mengerti peraturan yang disahkan oleh pemerintah melalui lembaga pemerintah.
Menafsirkan sebuah peraturan tidak bisa dibaca saja secara "letterlijk" atau "literal" adalah metode penafsiran yang dilakukan dengan memahami makna kata dari teks yang ditafsirkan. Dalam bahasa hukum, letterlijk memiliki arti pemahaman terhadap suatu teks terpaku pada apa yang dituliskan teks tersebut, dikarenakan pasal demi pasal maupun ayat itu saling berkaitan dengan pasal lainya
Misalnya Pasal 45 Ayat 6 dan Ayat 4 Jo Pasal 27A UURI Nomor 1 2004 tentang ITE, yang bunyinya sebagai berikut :
Pasal 45
(Ayat 3); Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/ atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10 miliar.
(Ayat 4); Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp400 juta.
(Ayat 5); Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.
(Ayat 6); Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan bertentangan dengan apa yang diketahui padahal telah diberi kesempatan untuk membuktikannya, dipidana karena fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp750 juta.
Dalam Ayat 5 sangat jelas bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum. Hal ini tidak bisa berdiri sendiri atau ditafsirkan mandiri. Artinya dalam pasal tersebut dengan tegas menjelaskan bukan oleh badan hukum, dalam arti luas badan hukum tidak dapat dijadikan subjek hukum dalam suatu perkara persangkaan Pasal 45.
Terkait pencemaran nama baik, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan kebijakan melalui putusannya yaitu menghapus pasal pencemaran nama baik dan berita bohong.
MK mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Haris Azhar, Fatia Maulidyanti, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 21 Maret 2024.
MK mengabulkan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1 Tahun 1946 tentang Berita Bohong dan Pasal 310 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait Pencemaran Nama Baik. Namun, MK menolak gugatan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (3) UU ITE.
Isi pasal yang dikabulkan untuk dihapus:
Pasal 14 UU 1/1946:
Ayat (1); Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi tingginya sepuluh tahun.
Ayat (2); Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15 UU 1/1946:
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.
Pasal 310 KUHP:
Ayat (1); Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Ayat (3); Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Alasan-alasan MK:
Unsur berita bohong dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1 Tahun 1946 dapat memicu pasal karet yang melahirkan ketidakpastian hukum karena tidak memiliki tolok ukur jelas.
Pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1 Tahun 1946, terdapat kata “keonaran” yang menimbulkan multitafsir karena dalam KBBI memiliki banyak arti dengan gradasi berbeda, Pasal tersebut membuat hak kebebasan berpendapat bagi warga negara yang dijamin UUD 1945 akan terancam aktualisasinya.
Pasal 14 KUHP sudah tidak relevan dengan perkembangan teknologi informasi saat ini karena pendapat dan kritik terkait kebijakan pemerintah melalui teknologi informasi menjadi dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan partisipasi publik, bukan penyebab keonaran.
MK juga berkesimpulan bahwa Pasal 310 Ayat (1) KUHP inkonstitusional secara bersyarat.
Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 Ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Penulis berpendapat bahwa mengemukakan pendapat dimuka umum melalui kritikan, saran dan masukan kepada semua pihak baik badan hukum maupun pemerintah saat ini telah mendapatkan kepastian hukum, terlebih MK melalui putusanya menegaskan bahwa menghapus Pasal Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong serta ditegaskan pula dalam Pasal 45 Ayat (5) UU ITE hanya dapat diberlakukan untuk seseorang atau perseorangan badan badan hukum juga menguatkan pendapat hukum penulis.
Penulis: Prayogo Laksono, S.H., M.H.
Pengamat Hukum