Pemkab Nganjuk Gelar Boyong Natapraja Sebagai Penanda Pemindahan Ibu Kota Yang Ke-145 -->

Javatimes

Pemkab Nganjuk Gelar Boyong Natapraja Sebagai Penanda Pemindahan Ibu Kota Yang Ke-145

javatimesonline
12 Juni 2025
Bupati dan Wakil Bupati saat menerima tombak jurang penatas dan Songsong Tunggul nogo
NGANJUK, JAVATIMES – Prosesi Boyong Natapraja dan Sedekah Bumi 6 Juni 1880 – 2025 digelar pada Kamis (12/6/2025) dengan rute Alun-alun Berbek menuju Pendapa KRT Sosro Koesoemo Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nganjuk. 

Boyong Natapraja merupakan peringatan pemindahan Ibukota Kabupaten Berbek ke kota Nganjuk, yang mana prosesinya sendiri diawali dari pemindahan pusaka dari Pendapa Balai Desa Kacangan menuju Pendapa Alun-alun Berbek.

Sementara kegiatan paling bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Nganjuk ini, melibatkan seluruh jajaran perangkat daerah di lingkungan Pemkab Nganjuk, sebagai penanda atas semangat kebersamaan dalam mengenang momen penting dalam perjalanan pemerintahan Kabupaten Nganjuk itu sendiri.


Hal ini sebagaimana yang disampaikan Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi atas sejarah perjalanan Pemerintahan Kabupaten Nganjuk atau Boyong Natapraja Berbek ke Nganjuk pada Minggu Wage, 6 Juni 1880 yang mana pada saat itu bertepatan dengan tanggal 27 Jumadil akhir, Wawu 1809, Angka Jawa, Wuku Kuningan, masa Karolas, Windu Adi, di wilayah Kabupaten Berbek telah terjadi peristiwa bersejarah yang besar.

“Pada saat itu terjadi perpindahan pejabat (nayakapraja) dan ibukota Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk. Dimana proses pemindahan tersebut dilaksanakan sesuai dengan adat Jawa, ini dilakukan demi keselamatan semuanya,” ujar kang Marhaen sebutan Bupati Nganjuk.

Kang Marhaen juga menjelaskan, bukti perpindahan pejabat dan ibukota Berbek ini, ditemukan dalam dokumen salinan surat laporan Residen Kediri Meyer kepada Gubernur Jenderal pada tanggal 8 Juni 1880, dengan nomor surat 3024a/4205.

“Untuk landasan perintah memindahkan ibukota Berbek ke Nganjuk Governements besluit van 8 Juni 1875 no. 20. (Surat keputusan pemerintah Hindia Belanda No. 20 tertanggal 8 Juni 1875) yang diterima Bupati Raden Sumowiloyo,” jelasnya lagi.

Selain itu kang Marhaen juga menjelaskan, bahwa peristiwa yang populer disebut boyongan yang sering dilakukan saat ini, terjadi pada era Bupati Sosrokusumo (III), dimana saat itu ia menjabat sebagai Bupati Berbek pada tahun 1878 – 1901 yang juga putra dari Bupati Berbek Raden Tumenggung Sumowiloyo.

“Artinya, pada 145 tahun lalu, ibukota Kabupaten Berbek yang semula bertempat di Kabupaten Berbek berpindah di Kota Nganjuk. Dengan keluarnya undang-undang No. 310 tahun 1928 tertanggal 9 Agustus 1928 No. 1X dan diundangkan pada 21 Agustus 1928 yang berlaku semenjak 1 Januari 1929 yang mana, nama kabupaten Berbek yang beribukota di Nganjuk berubah menjadi Kabupaten Nganjuk,” urainya

Kang Marhaen juga menyampaikan, bahwa hal itu ditandai dengan berdirinya Dewan Kabupaten Nganjuk (Regenchapsraad Ngandjoek). Dimana pada tanggal 1 Januari 1929, Kadipaten Berbek lebur menjadi Kabupaten Nganjuk dan beribukota di Nganjuk hingga sekarang.

“Untuk selanjutnya, peristiwa boyong nayakapraja dan ibukota Berbek ke Kota Nganjuk ini dirayakan oleh pemerintah Kabupaten Berbek. Seperti ditemukan dalam dokumen berupa foto peringatan Boyong ke 50, pada tahun 1930. Peringatan Boyong ke 50 tahun tersebut dirayakan dengan mengarak replika pendapa Kabupaten Berbek, sejumlah peralatan kantor dan bedug,” ujarnya.


Sebab itu, pada kesempatan ini, kang Marhaen berpesan kepada seluruh masyarakat Nganjuk agar dapat memahami perjalanan pemerintahan Kabupaten Nganjuk.

“Fakta sejarah ini tidak dapat dipungkiri lagi dan harus dipahami dan dimengerti sebagai ingatan kolektif kita, utamanya para pejabat pemerintahan di Nganjuk,” pesannya.

Kang Marhaen juga mengajak semua warga Nganjuk, untuk selalu ingat akan pesan Bung Karno terkait Jas Merah, dimana kita diharapkan, agar tidak sekali-kali melupakan sejarah karena Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya.

“Momentum boyong ini, sebagai penyemangat bagi warga masyarakat Nganjuk bahwa dengan sejarah perjalanan pemerintahan Kabupaten Nganjuk yang begitu luar bisa ini, bisa sama-sama kita pedomani sebagai semangat gotong royong dan guyub rukun untuk membangun Kabupaten Nganjuk,” pungkas kang Marhaen.

Untuk diketahui prosesi boyong natapraja dan sedekah bumi berlangsung sangat meriah, penuh khidmat dan sakral dengan menampilkan parade budaya yang memukau, mulai dari pawai budaya, pertunjukan drumband, hingga komunitas seni lokal serta dihadiri Pasukan Bregada, yang meliputi:

  • Bregada Umbul-umbul
  • Bregada Prawira Anom
  • Bregada Jemparing Langenastra
  • Bregada Jayeng Sekar
  • Bregada Songsong Buwana

Selain itu, rangkaian prosesi ini, menampilkan peraga pembawa lampu gantung atau ublik, tokoh pembuka lawang, pembawa uborampe dan sesaji, serta pembawa menyan, hio, dan bunga, hingga tumpeng sebagai simbol rasa syukur dan doa.






 (Ind)