![]() |
| Kuitansi yang ditunjukkan pedagang selama empat tahun terakhir |
JOMBANG, Djavatimes -- Beberapa waktu lalu sempat ramai pemberitaan mengenai adanya dugaan praktik pungutan liar (pungli) berkedok sewa lahan di lingkungan terminal Mojoagung Jombang. Dugaan praktik tersebut dilakukan oleh oknum yang mengaku sebagai petugas Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Jombang.
Alih-alih kapok dengan aksinya, justru kedua oknum yang juga merupakan suami istri ini tambah menjadi-jadi. Dia tak terima dan langsung mendatangi lapak penyewa dengan melontarkan nada kesal. Hal tersebut sebagaimana disampaikan Mrs. X (bukan nama sebenarnya), salah satu penyewa lahan di lingkungan terminal Mojoagung.
Setelah muncul pemberitaan pada minggu yang lalu, Slamet (oknum yang mengaku petugas Dishub Jombang) mendatangi warung saya dengan nada marah dan mengatakan kenapa ibu koar - koar di media Jombang, kata Mrs. X menirukan ucapan Slamet, Minggu (27/3/2022) malam.
Seakan tidak menerima penjelasan dari penyewa lahan, justru Slamet semakin beringas dengan melontarkan nada ancaman.
Saya sampaikan ke Pak Slamet, duduk dulu pak, saya jelaskan. Memang ada orang yang tanya berapa pean (red: Anda) sewa lahan ini, saya jawab saya ngontrak ke Pak Slamet Rp 2,5 juta, saya tawar Rp 2,3 juta tidak boleh akhirnya kan saya bayar Rp 2,5 juta tiap bulan, ini yang saya jelaskan, urainya.
Namun Pak Slamet malah bilang begini, bagaimana kalau sewa sampean diputus, kan jadi rugi sendiri bu sampean. Tetapi selama parkiran saya pegang, kan tidak ada masalah, sambung Mr. X menirukan omongan Slamet.
Menurut pengakuan Mrs. X, dirinya bersama teman-teman pedagang yang lain mengaku keberatan dengan nominal yang ditentukan oleh oknum yang mengaku sebagai petugas Dishub Jombang.
Apalagi selama pandemi ini, pendapatan jualan makanan menurun dan orang parkir tidak seperti saat sebelum pandemi Covid-19, pungkas Mrs. X.
Di terminal Mojoagung itu memang ada lahan parkir yang disewakan, posisinya ada di sebelah kiri dan sebelah kanan kantor. Jika disewakan itu sesuai dengan aturan Perda, sesuai luarannya itu ketemu sebesar Rp 18 juta per tahun dan dibayar setiap bulan. Jadi ketemunya setiap bulan Rp 1,5 juta, tutur Hartono beberapa waktu lalu.
Hartono juga menambahkan, pihaknya tidak pernah membebankan lebih dari nilai yang sudah ditetapkan oleh Perda.
Kalaupun itu nilainya lebih, itu bukan ke kita. Apakah itu disewakan lagi atau tidak, kami belum tahu betul, nanti akan kita tindaklanjuti. Karena yang jelas kami hanya butuh PAD (red: Pendapatan Asli Daerah) sesuai Perda yakni senilai Rp 18 juta per tahun, tegas Hartono.
Kami itu nariknya kepada yang ngontrak. Kalau ada pihak lain, berarti penyewa itu menyewakan kembali ke orang lain. Jadi kalau ditemukan senilai Rp 2,5 juta tiap bulan itu diluar sepengetahuan kami, kalau ada kuitansi itu berarti dari pihak penyewa kepada pihak ketiga lagi, ujar Hartono.
Untuk kedepannya kami akan lakukan pengawasan lagi, mungkin ditata lagi kaitannya dengan penyewaan ini. Karena pada prinsipnya, kita mendapatkan PAD harus sesuai dengan aturan yang ada. Kalau memang ada penyelewengan nanti akan kita luruskan, jelas Hartono.
(Gading/AWA)

Komentar