![]() |
Kepala CDK Malang Agustiningtyas Marini |
MALANG, JAVATIMES -- Akhir-akhir ini Cabang Dinas Kehutanan (CDK) Malang menjadi sorotan publik. Hal itu berkenaan dengan program pemerintah terkait kawasan hutan di wilayah yang dinaungi CDK Malang.
Mereka yang menyorot di antaranya akademisi, tokoh masyarakat, LSM yang bergerak di dunia kehutanan, maupun masyarakat paling bawah sebagai penerima manfaat dari program tersebut.
Merespon sorotan tersebut, Kepala CDK Malang Agustiningtyas Marini menuturkan bahwa sedianya dalam kawasan hutan yang dinaunginya ada sekitar 38.000 hektar. Namun yang sudah mendapatkan berizin hanya sekitar 10.000 hektar.
Sementara sisanya, nanti akan kami bantu melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mempercepat hal itu, bebernya, Jumat (29/12/2023).
Agustiningtyas menambahkan, sesuai Perpres 28 Tahun 2003 tentang Percepatan Perhutanan Sosial, maka para pihak memiiki taggung jawab untuk membantu percepatannya.
Apakah itu terkait akses atau dalam hal pengembangan perhutanan sosial sendiri sebagai bagian dari Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDPK), tambah Agustiningtyas.
Selanjutnya untuk sisa yang belum berizin, dikatakan Agustiningtyas perlu proses pengusulan dan tentu saja hal itu ditujukan kepada KLHK untuk penentuan wilayah yang masuk prioritas perhutanan sosial.
Dan di sini fungsi CDK Malang untuk membantu penilaian atau verifikasi awal, untuk membantu pengusulan apakah sudah tepat sasaran apa tidak, bebernya.
Lebih jauh, Agustiningtyas memaparkan bahwa peserta atau pemohon dalam program KHDPK ini bisa melalui beberapa cara. Seperti halnya hutan desa, maka melalui LPHD yang pembentukannya melalui Perdes. Selanjutnya diusulkan ke KLHK. Jika bentuk pengusulannya Hutan Kemasyarakatan (HKM), maaka melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Jadi intinya yang mengusulkan dipastikan subyeknya (masyarakat yang selama ini mengelola kawasan, tidak dibuat-buat dan memang dia eksisting mengelola kawasan itu selama bertahun-tahun yang potensi bisa diusulkan untuk mendapatkan izin pengelolaan perhutanan sosial KHDPK ini), Kemudian ya masyarakat yang punya ketergantungan pada kawasan hutan sangat tinggi juga bisa diusulkan sebagai subjek untuk konteks KHDPK perhutanan sosial, urai Agustiningtyas.
Secara garis besar, kata Agustiningtyas, ini bukan untuk hak memiliki sebagai bagian dari aset mereka. Tetapi adalah hak pengelolaan selama sekitar 35 tahun. Lama pengelolaan itu pun juga masih bisa diperpanjang.
Dengan waktu yang sangat panjang ini, saya yakin masyarakat yang diberi hak pengelolaan selama itu bisa dioptimalkan produktivitasnya dengan tetap punya kesadaran tinggi untuk membangun ekologisnya, sambung Agustiningtyas.
Lebih jauh, Agustiningtyas juga mengungkapkan rasa optimisnya bahwa lahan tersesebut bisa dioptimalkan. Baik aspek sosial agar mengurangi konflik, kemudian aspek ekonominya agar masyarakat punya rasa handarbeni yang tinggi untuk mengelola lahannya sehingga bisa memiliki nilai ekonomis tinggi.
Dan tentu saja jangan lupa, ini KHDPK perhutanan sosial ada dalam kawasan hutan yang bagaimana kita ketahui bahwasanya fungsinya adalah fungsi ekologi mempertahankan dan satu-satunya benteng terakhir untuk menghindari bencana alam dan itu yang perlu dibangun kesadaran bersama, ungkap Agustiningtyas.
Sedangkan bagi para pihak bersama masyarakat, kata Agustiningtyas, jika telah mendapat izin kelola perhutanan sosial, maka harsu bisa memanfaatkan kawasan hak kelola dengan sebaik-baiknya.
Jangan hanya mengedepankan aspek ekonomi, karena aspek ekologi ini bersifat jangka panjang untuk anak cucu kita dan itu juga bisa meningkatkan sumber mata air, mengurangi banjir, mengurangi kekeringan itu harapannya, bebernya.
Untuk hak mereka yang sudah dapat izin kelola adalah mereka mendapatkan legalitas sehingga mereka sudah tidak perlu ada kekhawatiran lagi untuk mengelola dalam kawasan, kemudian juga ada hak mendapatkan pendampingan serta perlindungan hukum.
Tapi yang tidak kalah penting adalah kewajiban mereka harus disadari antara lain memastikan kawasan hutannya menuju kawasan hutan yang lestari dan kemudian juga harus mentaati sebagai pemegang izin pengelolaan kawasan hutan segala peraturan yang berlaku, seperti melindungi kawasan hutan hak kelola dari upaya para pihak lain yang mendegradasikan hutan, apakah penebangan liar, perburuan liar atau karhutla itu masyarakat punya kewajiban untuk melindungi kawasan hutan dari upaya tersebut, tambah Agustiningtyas.
Dijelaskan Agustiningtyas, pemegang izin itu tidak ubahnya seperti BUMN yang selama ini mengelola kawasan, cuma sekupnya lebih kecil saja yang mana hak dan kewajibannya sama untuk melindungi. Tidak kalah pentingnya, seluruh yang keluar dari kawasan hutan terlapor sebagai usaha hasil hutan sesuai prosedurnya ada kewajiban membayar PNBP, kemudian aset yang ada di dalamnya masih ada aset Perum Perhutani. Jangan kemudian dilakukan penebangan.
Oleh karena itu ada hak orang lain di luar kelolanya yang harus dipahami. Kalau pun nanti mengelola kawasan itu, minimal aturan mainnya diikuti, kalau hutan produksi itu diperkenankan 20 persen untuk tanaman semusim dan kemudian yang 80 persen itu tanaman buah-buahan atau MPTS serta tanaman kayu-kayuan, jelas Agustiningtyas.
Sementara di hutan lindung tidak boleh ada tanaman semusim, bahkan umbi-umbian tidak boleh. Melainkan di sana harus ditanami kayu-kayuan atau tanaman yang bisa menguatkan sumber mata air. Karena biasanya hutan lindung itu DPL tinggi, yang mana berada di atas ketinggian 1500 - 2000 MDPL.
Dan biasanya mesti ada sumber mata air itu, yang kemudian ketika mendapatkan izin kelola, fungsi kawasan hutan lindung harus bersama-sama dijaga dengan meningkatkan tanaman tutupan dengan tanaman kayu-kayuan atau buah-buahan yang bisa diambil buahnya saja, getahnya saja atau daunnya saja. Sementara kayunya tidak boleh ada penebangan di dalam kawasan hutan lindung. Sedangkan kalau di luar atau hutan produksi, seperti yang saya katakan tadi, pungkas Agustiningtyas Marini,
(Tim)