JOMBANG, JAVATIMES – Isu pengangkatan Tenaga Ahli (TA) Bupati Jombang kembali mencuat. Namun alih-alih mendapatkan klarifikasi yang mencerahkan, publik justru disuguhkan narasi lempar tanggung jawab yang memicu pertanyaan lebih besar: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab?
Salah satu TA yang tengah disorot, Joko Prasetyo, SH, MH, mengklaim bahwa dirinya memiliki legalitas penugasan.
Yang jelas saya sebagai TA sudah punya legalitas sesuai regulasi yang ada, ujarnya. Meski demikian, ia justru mengarahkan media untuk bertanya langsung ke Pemkab Jombang. (sumber: Panji Nasional–red)
Langkah ini dinilai sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab. Aktivis kebijakan publik, Rehal, menyebut pernyataan tersebut sebagai taktik klasik.
Ini jelas upaya membenturkan persoalan ke Sekda dan Kadiskomdig. Padahal semua tahu, yang mengangkat TA adalah Bupati. Kenapa sekarang Sekda dan Kadis Komunikasi yang dilempar pertanyaan? Ini bukan transparansi, ini strategi politik adu domba, ujarnya.
Rehal juga menyoroti absennya seluruh TA dalam konferensi pers resmi Pemkab Jombang. Forum yang seharusnya menjadi ajang keterbukaan justru berubah menjadi panggung kosong.
Tidak satu pun TA hadir. Padahal isu ini menyangkut langsung eksistensi mereka. Yang datang malah seperti orang-orang di bawah tekanan, tanpa landasan yang kuat. Ini menyedihkan, tegasnya.
Ia menambahkan, konferensi pers tersebut justru memperkuat kesan bahwa ada operasi lempar batu sembunyi tangan. Saat publik menuntut kejelasan, para aktor utama justru menghilang dari panggung.
Ini bukan lagi soal regulasi, tapi soal moral publik. Ketika rakyat bertanya, pejabat seharusnya menjawab, bukan menghindar, ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah Jombang, Agus Purnomo, dan Kepala Dinas Komunikasi dan Digital, Endro Wahyudi, memilih bungkam. Dikonfirmasi melalui pesan singkat dan panggilan telepon, keduanya tak merespons. Bahkan ketika didatangi langsung ke kantor, jawaban yang diterima hanya satu kalimat: Sedang rapat.
Padahal, menurut sumber internal, baik Sekda maupun Kadiskomdig tidak dilibatkan sejak awal dalam proses pengangkatan TA. Ketidaktahuan ini semestinya cukup untuk membebaskan mereka dari tanggung jawab menjelaskan. Namun entah mengapa, mereka tetap didorong menjadi juru bicara untuk sesuatu yang bukan domain mereka.
Saat birokrasi memilih bungkam, publiklah yang menjadi korban.
Isu TA di Jombang kini bukan lagi sekadar soal teknis administrasi, tetapi telah menjadi cermin suram tentang bagaimana pejabat publik menyikapi akuntabilitas. Jika polemik ini terus dibiarkan, yang hilang bukan sekadar kepercayaan, tetapi juga wajah demokrasi lokal yang seharusnya dibangun di atas transparansi dan keberanian menjawab.
Di tengah kebisuan yang disengaja ini, pertanyaan publik justru terdengar makin lantang: siapa sebenarnya yang takut bicara?
(Gading)